Integritas, Bukan Karisma!
Integritas adalah modal utama seorang pemimpin, namun sekaligus modal
yang paling langka dimiliki oleh pemimpin. Inilah ironi
terbesar dalam area kepemimpinan.
Integritas adalah modal utama seorang pemimpin. James Kouzes dan Barry Posner dalam buku mereka berjudul Credibility: How leaders gain and lose it, why people demand it melaporkan hasil riset mereka selama hampir 20 tahun dari hasil survey terhadap ribuan professionals dari empat benua dan ratusan studi kasus bahwa faktor nomor satu yang paling kritikal bagi seorang pemimpin adalah integritas.
Warren Bennis dalam bukunya Leaders: Strategies for taking charge menulis bahwa integritas adalah fondasi untuk membangun rasa percaya (trust). Trust ini berkaitan erat dengan predictability. Seorang pemimpin yang memiliki integritas membangun trust dengan menunjukkan kepada orang lain bahwa apabila diperhadapkan dengan tantangan moral, segala keputusan dan aksinya dapat diprediksi
Namun integritas adalah sebuah komoditas kepemimpinan yang sangat langka, bahkan hampir punah hari ini. Pengakuan Pendeta Jesse Jackson di depan publik pada tanggal 18 Januari 2001 kembali memperkuat premis tersebut. Siapa tidak kaget dia punya anak berusia 20 bulan di luar nikah? Siapa tidak kaget mengetahui bahwa Pdt. Jesse Jackson yang dipersepsikan publik sebagai salah satu spiritual compass masyarakat Amerika ternyata berselingkuh sejak 1998?
Skandal Jesse seakan menjadi sequel kedua dari skandal Clinton yang juga menimbulkan kekagetan publik Amerika dan dunia, namun jauh lebih dashyat. Mengapa? Karena Jesse adalah seorang tokoh spiritual yang sekaligus pendeta, politikus, dan pejuang HAM Kristen yang saat berselingkuh juga menjadi menjadi konselor bagi Clinton.
Kekagetan publik yang dipersonifikasikan melalui para professional press via media bergengsi spt CNN, CNBC, dan Time, lalu berubah menjadi polemik klasik tentang integritas: Apakah di jaman sekarang ini masih diperlukan konsistensi antara private and public life? Lebih konkrit lagi, masih relevankah konsistensi antara perkataan dan perbuatan khususnya bagi seorang pemimpin. Pertanyaan sentral yang kembali di-entertain adalah: "Does it matter?"
Di balik pertanyaan tersebut, terbersit sebuah kefrustasian. Dunia tampak semakin putus asa mencari seorang role model yang riil untuk diteladani publik. Dan sejarah membuktikan bahwa gereja (tubuh Kristus) yang seharusnya ditetapkan Allah untuk menjadi teladan hidup sebagai garam dan terang telah berkali-kali gagal.
Dunia terus mencari orang yang mampu berkata seperti rasul Paulus, "Ikutlah aku, sama seperti aku mengikut Kristus" (I Kor 11:1)
Karakteristik utama seorang yang berintegritas terletak pada keutuhan hidupnya, yaitu konsistensi dalam perbuatan dan perkataan
Integritas didefinisikan oleh kamus sebagai "wholeness, completeness, entirety, unified". Keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dalam seluruh aspek hidup, khususnya antara perkataan dan perbuatan. Integritas berarti, "the condition of having no part taken away" atau "the character of uncorrupted virtue."
Yakobus memberi definisi yang senada dgn ini: orang yang ber-integritas adalah orang yang "mature and complete, not lacking anything" (Yak 1:4). Imannya dan perbuatannya menyatu. Bahkan dari perbuatannya, orang melihat imannya (Yak 2:8).
Integritas berbeda dengan image. Image adalah apa orang pikir tentang siapa kita. Image adalah persepsi. Integritas adalah siapa kita sesungguhnya. Saat seorang memfokuskan perhatian dan upayanya untuk memproyeksikan sebuah image yang palsu tentang dirinya kepada orang lain, orang tersebut memiliki resiko yang tinggi untuk kehilangan kredibilitasnya.
Dalam bahasa IT, konsistensi perkataan-perbuatan tersebut disebut sebagai prinsip WYSIWYG ( what-you-see-is-what-you-get). Saat orang melihat adanya inkonsistensi kedua hal tersebut pada seorang pemimpin, yang mereka lihat tidak lain adalah seorang munafik. Serigala berbulu domba.
Seringkali kita menggunakan kata 'integritas', 'etika', dan 'moralitas' secara bergantian untuk me-refer ke maksud yang sama. Adakah perbedaan antara ketiga hal tersebut? Tentu ada.
Secara sederhana, etika adalah standar tentang mana yang benar dan salah, baik dan jahat. Apa yang kita pikir benar dan baik, itulah etika kita. Pakar management Chris Argyris menyebutnya sebagai ' espoused theory'. Sedangkan moralitas adalah tindakan aktual tentang hal yang benar dan salah, baik dan jahat. Oleh Chris disebut juga sebagai 'theory-in-use'. Jadi kalau etika ada di level teoretika, maka moralitas ada di level praktika. Integritas sendiri adalah integrasi antara etika dan moralitas. Semakin terintegrasi, semakin tinggi level integritas yang ada.
Jika seorang pemimpin menganggap bahwa memanipulasi orang itu itu sah-sah saja, lalu dia mengeksploitasi orang-orang yang bekerja dan melayani bersamanya, berarti pemimpin tersebut tidak etis dan imoral. Namun paling tidak, dia masih memiliki integritas, meskipun dalam konotasi negatif. Karena konsep dan aksinya selaras.
Jika pemimpin kedua berkata bahwa memanipulasi orang itu salah, tapi dia lalu mengeksploitasi orang disekitarnya, pemimpin ini jelas tidak memiliki integritas. Ada gap antara konsep dan aksinya.
Mana yang lebih baik, pemimpin pertama atau kedua? Barangkali pemimpin pertama, paling tidak secara teoritis. Sebagaimana sejarah membuktikan, orang seperti Hitler dan Stalin yang etikanya amburadul pun (missal, genocide terhadap umat yang lebih inferior itu sah) memiliki banyak pengikut setia. Karena mereka konsisten, mereka berintegritas.
Yesus secara aktif mengutuk orang Farisi, karena mereka memiliki gap yang sangat besar antara etika dan moralitas. Kata 'munafik' dipakai sebanyak 6 kali dalam cercaan Yesus kepada mereka (Mat 23:13,15,23,25,27,29), setiap kali diawali dengan kalimat "Celakalah kamu!"
Orang Farisi hidupnya seperti perpetual fashion shows, penuh topeng dan sangat superficial. Yesus dengan keras memberitahukan murid-muridNya untuk selalu bersiaga terhadap para pemimpin palsu, bahkan memperingatkan mereka sendiri untuk tidak menjadi pemimpin palsu: "Don't be impressed with charisma; look for character. Who preachers are is the main thing, not what they say" (Mat 7:15; The Message).
Kita dapat memiliki integritas tanpa menjadi pemimpin. Namun kita tidak mungkin dapat menjadi pemimpin tanpa integritas. Apalagi menjadi pemimpin Kristen.
Integritas adalah modal utama seorang pemimpin. James Kouzes dan Barry Posner dalam buku mereka berjudul Credibility: How leaders gain and lose it, why people demand it melaporkan hasil riset mereka selama hampir 20 tahun dari hasil survey terhadap ribuan professionals dari empat benua dan ratusan studi kasus bahwa faktor nomor satu yang paling kritikal bagi seorang pemimpin adalah integritas.
Warren Bennis dalam bukunya Leaders: Strategies for taking charge menulis bahwa integritas adalah fondasi untuk membangun rasa percaya (trust). Trust ini berkaitan erat dengan predictability. Seorang pemimpin yang memiliki integritas membangun trust dengan menunjukkan kepada orang lain bahwa apabila diperhadapkan dengan tantangan moral, segala keputusan dan aksinya dapat diprediksi
Namun integritas adalah sebuah komoditas kepemimpinan yang sangat langka, bahkan hampir punah hari ini. Pengakuan Pendeta Jesse Jackson di depan publik pada tanggal 18 Januari 2001 kembali memperkuat premis tersebut. Siapa tidak kaget dia punya anak berusia 20 bulan di luar nikah? Siapa tidak kaget mengetahui bahwa Pdt. Jesse Jackson yang dipersepsikan publik sebagai salah satu spiritual compass masyarakat Amerika ternyata berselingkuh sejak 1998?
Skandal Jesse seakan menjadi sequel kedua dari skandal Clinton yang juga menimbulkan kekagetan publik Amerika dan dunia, namun jauh lebih dashyat. Mengapa? Karena Jesse adalah seorang tokoh spiritual yang sekaligus pendeta, politikus, dan pejuang HAM Kristen yang saat berselingkuh juga menjadi menjadi konselor bagi Clinton.
Kekagetan publik yang dipersonifikasikan melalui para professional press via media bergengsi spt CNN, CNBC, dan Time, lalu berubah menjadi polemik klasik tentang integritas: Apakah di jaman sekarang ini masih diperlukan konsistensi antara private and public life? Lebih konkrit lagi, masih relevankah konsistensi antara perkataan dan perbuatan khususnya bagi seorang pemimpin. Pertanyaan sentral yang kembali di-entertain adalah: "Does it matter?"
Di balik pertanyaan tersebut, terbersit sebuah kefrustasian. Dunia tampak semakin putus asa mencari seorang role model yang riil untuk diteladani publik. Dan sejarah membuktikan bahwa gereja (tubuh Kristus) yang seharusnya ditetapkan Allah untuk menjadi teladan hidup sebagai garam dan terang telah berkali-kali gagal.
Dunia terus mencari orang yang mampu berkata seperti rasul Paulus, "Ikutlah aku, sama seperti aku mengikut Kristus" (I Kor 11:1)
Karakteristik utama seorang yang berintegritas terletak pada keutuhan hidupnya, yaitu konsistensi dalam perbuatan dan perkataan
Integritas didefinisikan oleh kamus sebagai "wholeness, completeness, entirety, unified". Keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dalam seluruh aspek hidup, khususnya antara perkataan dan perbuatan. Integritas berarti, "the condition of having no part taken away" atau "the character of uncorrupted virtue."
Yakobus memberi definisi yang senada dgn ini: orang yang ber-integritas adalah orang yang "mature and complete, not lacking anything" (Yak 1:4). Imannya dan perbuatannya menyatu. Bahkan dari perbuatannya, orang melihat imannya (Yak 2:8).
Integritas berbeda dengan image. Image adalah apa orang pikir tentang siapa kita. Image adalah persepsi. Integritas adalah siapa kita sesungguhnya. Saat seorang memfokuskan perhatian dan upayanya untuk memproyeksikan sebuah image yang palsu tentang dirinya kepada orang lain, orang tersebut memiliki resiko yang tinggi untuk kehilangan kredibilitasnya.
Dalam bahasa IT, konsistensi perkataan-perbuatan tersebut disebut sebagai prinsip WYSIWYG ( what-you-see-is-what-you-get). Saat orang melihat adanya inkonsistensi kedua hal tersebut pada seorang pemimpin, yang mereka lihat tidak lain adalah seorang munafik. Serigala berbulu domba.
Seringkali kita menggunakan kata 'integritas', 'etika', dan 'moralitas' secara bergantian untuk me-refer ke maksud yang sama. Adakah perbedaan antara ketiga hal tersebut? Tentu ada.
Secara sederhana, etika adalah standar tentang mana yang benar dan salah, baik dan jahat. Apa yang kita pikir benar dan baik, itulah etika kita. Pakar management Chris Argyris menyebutnya sebagai ' espoused theory'. Sedangkan moralitas adalah tindakan aktual tentang hal yang benar dan salah, baik dan jahat. Oleh Chris disebut juga sebagai 'theory-in-use'. Jadi kalau etika ada di level teoretika, maka moralitas ada di level praktika. Integritas sendiri adalah integrasi antara etika dan moralitas. Semakin terintegrasi, semakin tinggi level integritas yang ada.
Jika seorang pemimpin menganggap bahwa memanipulasi orang itu itu sah-sah saja, lalu dia mengeksploitasi orang-orang yang bekerja dan melayani bersamanya, berarti pemimpin tersebut tidak etis dan imoral. Namun paling tidak, dia masih memiliki integritas, meskipun dalam konotasi negatif. Karena konsep dan aksinya selaras.
Jika pemimpin kedua berkata bahwa memanipulasi orang itu salah, tapi dia lalu mengeksploitasi orang disekitarnya, pemimpin ini jelas tidak memiliki integritas. Ada gap antara konsep dan aksinya.
Mana yang lebih baik, pemimpin pertama atau kedua? Barangkali pemimpin pertama, paling tidak secara teoritis. Sebagaimana sejarah membuktikan, orang seperti Hitler dan Stalin yang etikanya amburadul pun (missal, genocide terhadap umat yang lebih inferior itu sah) memiliki banyak pengikut setia. Karena mereka konsisten, mereka berintegritas.
Yesus secara aktif mengutuk orang Farisi, karena mereka memiliki gap yang sangat besar antara etika dan moralitas. Kata 'munafik' dipakai sebanyak 6 kali dalam cercaan Yesus kepada mereka (Mat 23:13,15,23,25,27,29), setiap kali diawali dengan kalimat "Celakalah kamu!"
Orang Farisi hidupnya seperti perpetual fashion shows, penuh topeng dan sangat superficial. Yesus dengan keras memberitahukan murid-muridNya untuk selalu bersiaga terhadap para pemimpin palsu, bahkan memperingatkan mereka sendiri untuk tidak menjadi pemimpin palsu: "Don't be impressed with charisma; look for character. Who preachers are is the main thing, not what they say" (Mat 7:15; The Message).
Kita dapat memiliki integritas tanpa menjadi pemimpin. Namun kita tidak mungkin dapat menjadi pemimpin tanpa integritas. Apalagi menjadi pemimpin Kristen.
http://www.glorianet.org/index.php/sendjaya/1452-integritas
Komentar
Posting Komentar